Tahlilan adalah tradisi keagamaan yang sangat dikenal di Indonesia, khususnya di kalangan umat Islam Nusantara. Praktik ini sering dilakukan saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia, biasanya pada hari ke-1, 3, 7, 40, 100, hingga 1000 hari. Namun, tahlilan juga kerap menjadi perdebatan: apakah ia termasuk ibadah yang dianjurkan atau justru bid’ah?
Artikel ini akan membahas pengertian tahlilan, sejarahnya, dalil Al-Qur’an dan potensi mudharatnya secara objektif.
Pengertian Tahlilan
Secara bahasa, tahlil berasal dari lafaz “Lā ilāha illallāh”.
Secara istilah, tahlilan adalah kegiatan berkumpul untuk berdzikir, membaca kalimat tahlil, tasbih, tahmid, doa, serta ayat-ayat Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia.
Sejarah Tahlilan di Indonesia
Tahlilan bukan tradisi Arab murni, melainkan berkembang di Nusantara melalui dakwah Walisongo. Tradisi ini digunakan sebagai media dakwah kultural untuk menggantikan ritual pra-Islam yang sebelumnya berisi sesajen dan unsur kepercayaan animisme.
Dengan pendekatan ini, masyarakat perlahan diarahkan:
-
Dari ritual mistik → dzikir dan doa
-
Dari sesajen → sedekah dan jamuan
-
Dari kepercayaan roh → tauhid kepada Allah
Pendekatan budaya ini membuat Islam diterima secara damai di Indonesia.
Potensi Mudharat Tahlilan
Tahlilan bisa menjadi bermasalah jika terjadi penyimpangan, seperti:
-
Memberatkan keluarga mayit
Jika dipaksakan dengan biaya besar, padahal keluarga sedang berduka. -
Keyakinan keliru
Menganggap tahlilan pasti wajib atau menentukan nasib mayit tanpa dalil. -
Riya’ dan formalitas
Fokus pada jamuan, bukan dzikir dan doa. -
Menganggap yang tidak tahlilan sesat
Padahal perbedaan pendapat ini termasuk ranah khilafiyah.
Apakah Boleh Tahlilan?
Tahlilan bukan ibadah wajib dan bukan pula ibadah yang diharamkan.
Ia termasuk amalan ijtihadiyah (khilafiyah) yang:
-
Boleh dilakukan jika berisi dzikir, doa, dan sedekah
-
Tidak boleh diyakini wajib
-
Tidak boleh memberatkan keluarga
-
Tidak boleh disertai keyakinan menyimpang
Prinsip terbaik adalah mengambil substansi ibadahnya, bukan sekadar tradisinya.
Jika Tahlilan Lebih Banyak Mudharatnya, Apa Sikap yang Benar Menurut Islam?
Islam tidak menilai amalan dari nama dan tradisinya, tetapi dari dampak (mafsadah) dan manfaat (maslahah) yang ditimbulkannya.
Dalam kaidah fiqih disebutkan:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak kerusakan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”
Artinya: jika suatu amalan yang asalnya mubah justru melahirkan kerusakan, maka wajib dicegah atau ditinggalkan.
1. Jika Memberatkan Keluarga Mayit → Bertentangan dengan Sunnah
Fakta di lapangan:
-
Keluarga dipaksa menjamu tamu
-
Harus berutang
-
Malu jika tidak mengadakan tahlilan
Padahal yang disunnahkan justru sebaliknya:
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka sedang ditimpa musibah.”
(HR. Abu Dawud – hasan)
👉 Sunnah: tetangga membantu keluarga mayit, bukan keluarga mayit menjamu tetangga.
Jika tahlilan membalik sunnah ini, maka:
-
Bukan ibadah
-
Bukan kebaikan
-
Bahkan masuk kategori menyelisihi sunnah
2. Jika Disertai Keyakinan Keliru → Berbahaya dalam Aqidah
Contoh keyakinan keliru di masyarakat:
-
“Kalau tidak tahlilan, arwah tersiksa”
-
“Hari ke-7 atau ke-40 penentu nasib mayit”
-
“Doa tidak sampai tanpa tahlilan”
👉 Ini masalah serius, karena:
-
Tidak ada dalil Al-Qur’an dan hadits shahih
-
Mengaitkan waktu tertentu dengan nasib mayit tanpa dasar syar’i
Dalam Islam:
-
Doa bisa kapan saja
-
Tidak terikat hari tertentu
-
Tidak butuh ritual khusus
Jika sebuah tradisi:
-
Mengubah doa menjadi ritual wajib
-
Mengikat ibadah dengan keyakinan tanpa dalil
Maka ia bukan lagi sekadar budaya, tapi sudah penyimpangan pemahaman agama.
3. Jika Menjadi Ajang Riya’ dan Pamer → Amal Bisa Gugur
Fenomena nyata:
-
Pamer hidangan
-
Takut dicap “pelit”
-
Lebih sibuk konsumsi daripada doa
Padahal Nabi ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.”
Para sahabat bertanya: “Apa itu?”
Beliau menjawab: “Riya.”
(HR. Ahmad)
👉 Jika tahlilan:
-
Fokus pada jamuan
-
Niatnya karena manusia
-
Takut omongan tetangga
Maka nilai ibadahnya bisa hilang, bahkan berubah menjadi dosa.
4. Jika Menganggap yang Tidak Tahlilan Sesat → Ini Kesalahan Fatal
Ini mudharat paling berbahaya.
Karena:
-
Tahlilan bukan rukun Islam
-
Bukan kewajiban
-
Bukan kesepakatan ulama
Menganggap orang sesat hanya karena:
-
Tidak mengikuti tradisi
-
Mengamalkan sunnah yang berbeda
👉 Ini melanggar adab khilafiyah dan membuka pintu:
-
Perpecahan umat
-
Fanatisme budaya
-
Menghakimi iman orang lain
Dalam kaidah ulama:
“Tidak boleh mengingkari perkara yang diperselisihkan ulama.”
Kesimpulan Tegas dan Jujur
Jika di suatu tempat tahlilan telah berubah menjadi:
-
Memberatkan keluarga
-
Melahirkan keyakinan keliru
-
Ajang riya
-
Alat menyesatkan orang lain
👉 Maka MENINGGALKANNYA LEBIH SELAMAT
👉 Bahkan bisa menjadi WAJIB untuk ditinggalkan
Karena Islam tidak mempertahankan tradisi yang rusak, meskipun sudah turun-temurun.
Solusi Islami yang Lebih Selamat
Sebagai pengganti:
-
Doa pribadi atau bersama tanpa ritual waktu
-
Sedekah atas nama mayit tanpa acara
-
Membantu keluarga yang berduka
-
Menghindari beban sosial
Ini:
-
Lebih sesuai sunnah
-
Lebih ikhlas
-
Lebih aman dari mudharat
Penutup
Islam tidak anti budaya, tapi Islam menolak budaya yang merusak agama.
“Ikhlas dan sesuai sunnah lebih utama daripada ramai tapi menyimpang.”
