Seorang hakim yang terkenal karena menjatuhkan vonis mati kepada Ferdy Sambo, Alimin Ribut Sujono, justru mendapat 0 suara dalam rapat pleno Komisi III DPR RI ketika dinominasikan sebagai calon Hakim Agung—padahal uji kelayakannya menyita perhatian publik.
Keputusan ini memicu tudingan serius bahwa ada kepentingan politik, nepotisme, atau kepatuhan pragmatis dalam lembaga legislatif yang memilih hakim, bukan semata-mata berdasarkan integritas atau keadilan.
Banyak pihak bertanya: apakah DPR benar-benar mewakili suara rakyat dan tegak lurus terhadap prinsip keadilan?
Fakta Kronologis
Berikut fakta-fakta yang berhasil dikumpulkan:
-
Profil Alimin Ribut Sujono
-
Sebagai hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Banjarmasin. Aktual+2Sorot Merah Putih+2
-
Pernah duduk sebagai anggota majelis yang menjatuhkan vonis mati terhadap Ferdy Sambo pada tahun 2023. Sorot Merah Putih+2Aktual+2
-
Pernyataan publik tentang dukungannya terhadap hukuman mati. Sorot Merah Putih+1
-
-
Proses Pemilihan Calon Hakim Agung Tahun 2025
-
Terdapat uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan Komisi III DPR RI. Sorot Merah Putih+2Aktual+2
-
Dari 16 calon, dipilih 10 yang lolos seleksi, sementara 6 calon dicoret. Alimin termasuk di antara mereka yang tereliminasi. Aktual+2Radar Jogja+2
-
-
Hasil Voting
-
Dalam rapat pleno Komisi III DPR RI pada Selasa, 16 September 2025, Alimin tidak memperoleh satu pun suara dukungan. Sorot Merah Putih+2Aktual+2
-
Semua fraksi di DPR ikut memberikan pandangan dalam rapat. Keputusan akhir disetujui melalui aklamasi untuk nama-nama yang lolos. Sorot Merah Putih+1
-
-
Reaksi Publik
-
Banyak pihak menyebut bahwa keputusan tersebut menunjukkan bahwa “hakim yang jujur dan berani” tidak punya tempat di DPR. Aktual+2Radar Jogja+2
-
Kritik datang dari berbagai pihak, termasuk aktivis, praktisi hukum, dan media, yang mempertanyakan parameter apa yang digunakan DPR dalam memilih calon hakim agung. Aktual+1
Analisis
Dari fakta di atas, ada beberapa poin yang bisa dijadikan bukti bahwa kekhawatiran bahwa DPR bisa menjadi “sarang penjahat” bukan tanpa dasar, tetapi juga perlu dibedakan antara tuduhan yang tepat dan spekulasi.
Indikator yang Menunjukkan Masalah Serius
-
Kontradiksi publik vs keputusan DPR: Seseorang yang secara publik dianggap berani dan tegas (misalnya menjatuhkan vonis berat terhadap kasus besar) tetap bisa ditolak sepihak. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria publik (kepastian hukum, ketegasan, keberanian) bisa jadi berbeda dengan kriteria yang diterapkan oleh DPR.
-
Kurangnya suara bahkan satu fraksi pun: Fakta bahwa Alimin tidak mendapatkan satu pun suara menunjukkan bahwa penolakannya bukan karena masalah minor, tetapi bisa jadi karena faktor yang lebih mendasar—apakah integritas, persepsi risiko politik, atau tekanan partisan.
-
Proses fit and proper test vs voting: Uji kelayakan hanya salah satu tahap. Voting di DPR adalah tahap yang menentukan. Meski seseorang lolos uji kelayakan, jika tidak mendapat dukungan di voting pleno, maka gagal. Maka, power dan preferensi politik DPR sangat menentukan.
-
Potensi konflik kepentingan politik: DPR adalah lembaga politik. Anggota DPR berasal dari partai politik, dan bisa jadi ada pertimbangan lain selain kualitas hakim, seperti hubungan politik, loyalitas, citra, tekanan dari kelompok kepentingan, dan popularitas. Hal ini bisa menghambat maju seseorang yang dianggap “tidak seirama” dengan kepentingan politik DPR.
Batasan dan Hal yang Perlu Hati-hati
-
Belum tentu semua hakim yang tidak lolos itu “lebih jujur” dari yang lolos: Integritas adalah konsep yang kompleks, dan publik tidak selalu punya akses penuh ke seluruh rekam jejak calon hakim. Penilaian DPR bisa memperhitungkan latar belakang, opini publik, juga aspek yang mungkin tidak diketahui publik.
-
Hak DPR untuk memilih: Dalam sistem ketatanegaraan, DPR memang diberikan kekuasaan untuk memilih calon hakim melalui prosedur yang disepakati. DPR memiliki kriteria resmi dan non-resmi. Tidak semua yang populer atau dianggap tegas oleh publik otomatis cocok menurut DPR.
-
Persepsi vs realita: Ada risiko bahwa publik menilai berdasarkan headline (misalnya “vonis mati Ferdy Sambo”) tanpa melihat keseluruhan rekam jejak hukum, gaya putusan, etika, dan hal-hal lain yang mungkin menjadi concern DPR.
Kesimpulan
Berdasarkan fakta:
-
Alimin Ribut Sujono gagal memperoleh suara apa pun di DPR meski profilnya pernah dipuji publik karena vonis berat terhadap kasus Ferdy Sambo. Aktual+2suara.com+2
-
Ini menimbulkan pertanyaan yang sangat serius tentang bagaimana DPR memilih calon hakim agung, terutama terkait aspek integritas, keberanian dalam mengambil keputusan yang mungkin tidak populer, dan kemungkinan adanya kepentingan politik/kelompok yang mempengaruhi keputusan.
Jadi, meskipun kata “sarang penjahat” adalah istilah yang berat dan mengandung tuduhan moral, ada bukti nyata yang mendukung klaim bahwa mekanisme seleksi hakim oleh DPR memiliki cacat dalam praktik keadilan dan akuntabilitas—setidaknya dalam kasus ini. Namun, perlu penelitian lebih lanjut dan data untuk menyimpulkan bahwa ini adalah praktik umum atau sistematis, bukan kasus tunggal.
Rekomendasi & Pertanyaan untuk Diskusi
-
Apakah DPR perlu transparansi lebih besar dalam kriteria penilaian calon hakim agung?
-
Apakah harus ada pengawasan eksternal (misalnya dari lembaga independen) terhadap proses seleksi hakim, agar lebih akuntabel dan tidak dipengaruhi kepentingan politik?
-
Bagaimana masyarakat bisa ikut mengawasi agar calon hakim yang tegas dan jujur mendapatkan peluang yang adil?
-
Apakah sistem voting dan uji kelayakan yang ada sudah cukup atau perlu direformasi?
