Fenomena Sosial: Ketika Terlihat Susah Dihina, Saat Terlihat Kaya Dibilang Sombong

Dalam kehidupan bermasyarakat, sering kali kita menemui paradoks sosial yang ironis: ketika seseorang tampak susah, ia dihina; tetapi ketika hidupnya

Dalam kehidupan bermasyarakat, sering kali kita menemui paradoks sosial yang ironis: ketika seseorang tampak susah, ia dihina; tetapi ketika hidupnya mulai membaik, ia justru dicap sombong. Fenomena ini bukan hal baru — sudah menjadi bagian dari dinamika sosial yang mencerminkan pola pikir sebagian masyarakat yang belum dewasa secara emosional maupun sosial.


1. Akar Masalah: Mentalitas Membandingkan Diri

Sebagian orang hidup dengan mental membandingkan diri. Mereka tidak nyaman melihat orang lain di atas atau di bawah mereka.

  • Ketika seseorang sedang jatuh, mereka merasa lebih baik dengan merendahkan.

  • Namun saat orang yang sama bangkit dan sukses, mereka merasa terancam dan menyerangnya dengan tuduhan sombong.

Fenomena ini menunjukkan betapa rapuhnya ego sosial kita — seolah kebahagiaan harus diukur dari posisi kita dibanding orang lain, bukan dari usaha dan keikhlasan diri sendiri.


2. Budaya “Senang Melihat Orang Gagal”

Dalam sosiologi, perilaku ini sering disebut sebagai bentuk schadenfreude — rasa senang melihat orang lain menderita.
Ketika seseorang sedang terpuruk, banyak yang merasa lebih unggul dan bebas menghakimi. Namun begitu orang tersebut berhasil memperbaiki hidupnya, rasa iri muncul dan diubah menjadi kritik, sindiran, atau tuduhan “berubah” dan “tidak rendah hati”.


3. Kesalahpahaman tentang Kesederhanaan dan Kesombongan

Sering kali masyarakat salah menilai batas antara menikmati hasil kerja keras dan bersikap sombong.
Padahal, tampil rapi, sukses, atau memiliki harta bukan berarti sombong — selama tidak merendahkan orang lain.
Ironisnya, banyak yang menuntut orang sukses untuk terus “menyembunyikan” keberhasilannya, seakan-akan kebahagiaan pribadi adalah kesalahan sosial.


4. Media Sosial dan Fenomena “Pamer”

Di era digital, kesalahpahaman ini semakin kuat.
Seseorang yang memposting pencapaiannya dianggap pamer, sementara yang curhat kesusahan disebut mencari simpati.
Padahal, keduanya bisa saja hanya bentuk ekspresi manusiawi — ingin berbagi perasaan, entah suka maupun duka.


5. Belajar dari Fenomena Ini

Daripada terjebak dalam siklus saling menilai, seharusnya masyarakat mulai belajar untuk:

  • Menghargai perjuangan orang lain, bukan hasil akhirnya saja.

  • Tidak mudah iri, karena setiap orang memiliki waktu dan jalan sukses masing-masing.

  • Mendoakan, bukan merendahkan, baik ketika orang lain sedang jatuh maupun saat mereka bangkit.


Kesimpulan

Fenomena “dihina saat susah, dicap sombong saat kaya” adalah cermin dari masyarakat yang masih menilai berdasarkan penampilan, status, dan asumsi, bukan niat dan usaha.

Kita perlu belajar menjadi masyarakat yang lebih matang — yang bisa mengapresiasi tanpa iri, dan bersimpati tanpa menghina. Karena pada akhirnya, setiap orang berhak untuk berproses dan berbahagia tanpa harus takut dinilai.

Mau donasi lewat mana?

BRI - Saifullah (05680-10003-81533)

BCA Blu - Saifullah (007847464643)

Mandiri - Saifullah (1460019181044)

BSI - Saifullah (0721-5491-550)
Merasa terbantu dengan artikel ini? Ayo dukung dengan memberikan DONASI. Tekan tombol merah.

Penulis

Saifullah.id
PT Saifullah Digital Advantec

Posting Komentar

Tulis komentar anda di bawah ini, lalu centang Beri Tahu Saya agar mendapatkan notifikasi saat kami membalas, lalu tekan PUBLIKASIKAN